Jumat, 22 Mei 2009

Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam (Sebuah resume pemikiran M. Hashim Kamali)

Dewasa ini, karya-karya tentang fiqh cenderung untuk mencoba meng-integralisasi anatara fiqh dan ushul fiqh, padahal anatara keduanya tidak mampu untuk dipisahkan bak kembar siam karena ushul fiqh merupakan metodologi bagaimana hukum fiqh itu digali dari berbagai sumbernya yaitu Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Namun pembahasan tentang ushul fiqh yang ada dalam karangan-karangan sekarang ini cenderung bias dan seakan redup tergerus oleh pokok-pokok bahasan fiqh, padahal ushul fiqh-lah yang seharusnya mendapatkan apresiasi lebih mendalam dalam pengkajiaanya. Hal tersebut senada dengan apa yang disampaikan oleh M. Hashim Kamali dalam bukunya yang berjudul Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam yang diterbitkan oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta pada tahun 1996 yang menyebutkan bahwa karya-karya yang sekarang terbit mengenai pokok bahasan tentang fiqh pada umumnya hanya membahas tentang sejarah fiqh, sementara materi yuridis dari ushul fiqh kurang mengalami sentuhan-sentuhan sehingga mengalami stagnan, hal inilah yang mendorong dia untuk mengulas tentang ushul fiqh lebih mendalam.
Akibat dari kejumudan ushul fiqh yang melanda dewasa ini, maka ketika ushul fiqh dibenturkan dengan kehidupan kontemporer dimana lebih mengedepankan pengkaitan antara sumber-sumber syari’ah dengan sistem legislasi dan yudisial pemerintahan modern maka terdapat kesenjangan yang sangat mendasar antara keduanya apalagi ditambah dengan adanya jargon “Pintu Ijtihad Sudah Tertutup”. Hal inilah yang mendasarinya untuk mengulas ushul fiqh dalam buku ini karena pengetahuan tentang kaidah-kaidah interpretasi sangatlah penting untuk memahami secara tepat suatau nash hukum sehingga tidak ada hukum yang dapat dideduksi darinya.
Pada dasarnya, bahasan M. Hashim Kamali dalam buku ini tidak jauh berbeda dengan para Ulama’ ushul fiqh sebelumnya dan yang semangsa dengannya. Dia mendefinisikan tentang ushul fiqh dengan dasar-dasar hukum Islam, menguraikan tentang indikasi–indikasi dan metode deduksi hukum-hukum fiqh dari sumber-sumbernya yang indikasi tersebut berasal dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang merupakan sumber pokok syari’ah.
Dia berpendapat bahwa sasaran utama dari ushul fiqh adalah mengatur ijtihad dan menuntun ahli hukum dalam upaya mendeduksi hukum dari sumbernya sehingga mampu untuk meminimalisir adanya kesemrawutan dan kekeliruan dalam perkembangan syari’ah.
Dia juga membedakan antara ushul fiqh dan ushul qonun walaupun keduanya mencakup dalam bidang yang sama, keduanya serupa dalam hal keterkaitanya dengan metodologi hukum dan kaidah-kaidah interpretasi dan deduksi yang keduanya tidak memiliki keterkaitan dengan hukum itu sendiri. Walaupun tujuan antara keduanya tidak adanya perbedaan, namun ushul fiqh terutama berkaitan dengan Al-Qur’an, Al-Sunnah, Ijma’, Qiyas. Sebaliknya ushul qonun memuat tentang doktrin-doktrin kaum rasionalis dan nalar manusia yang menjadi sumber hukum sekuler.
Dalam kaitannya dengan dalil-dalil syari’ah, Dia sebagaimana Ahli ushul yang lainya yang sepakat bahwa sumber hukum yang paling utama adalah Al-Quran dan Al-Sunah yang didalamnya memuat unsur-unsur definitive (Qot’i) dan ada pula yang spekulatif (zanni).
Adapun lebih jelasnya akan kita singgung tentang pemikiran M. Hashim Kamali dalam buku ini tentang sumber-sumber syari’ah dan metodologi dalam penggalian hukumnya. Didalam buku ini, M. Hashim Kamali membagi penjelasanya kedalam 9 bab yang kasemuanya merupakan sebuah kesatuan penjelasan yang antara satu dengan yang lain saling berhubungan. Adapun secara rincinya adalah sebagai berikut :
Adapun uraian tentang pemikiran N. Hashim Kamali dalam buku ini apabila di jabarkan bab per bab adalah sebagaimana berikut :
BAB I : Pengantar Ushul Fiqh
Sebagaimana para pemikir islam lainnya, M.Hashim Kamali membedakan antara fiqh dan ushul fiqh. Dia berpendapat bahwa fiqh adalah produk daripada ushul fiqh sehingga ushul fiqh dapat diartikan sebagai metodologi dalam penggalian hukum dari sumber-sumbernya yaitu Al-Quran dan Al-Sunnah.
Dalam hal ini, dia menjabarkan bahwa metodologi ushul fiqh tidak lepas dari metode penalaran seperti analodi (Qiyas), preferensi yuristik (Istihsan), anggapan berlakunya kontinuitas (Istishab), dan kaidah –kaidah interpretasi dan deduksi. hal ini sangatlah tepat untuk memahami nash hukum, oleh karena itu dia menjelaskan tentang bagaimana kaidah-kaidah untuk membedakan dan memahami nash yang bersifat spekulatif (Zanni) dan nash yang bersifat definitif (Qot’i), nash yang tampak (Zahir), nash yang eksplisit (Nash), nash yang umum (‘Amm) nash yang spesifik (Khass), nash yang harfiyah (Haqiqi), nash yang metaforis (Majazi)
Pendekatan yang dipakai oleh M. Hashim Kamali adalah pendekatam teoritis dan pendekatan deduktif, kedua pendekatan tersebut identik sama hanya saja yag membedakan adalah masaalah orientasi daripada substansi yang mana pendekatan teoritis lebih mengacu kepada pengungkapan teori doktrin-doktrin teoritis, sedangkan pendekatan deduktif lebih mengacu kepada pragmatis dimana teori diformulasikan kedalam kerangka-kerangka praktek.
Selanjutnya dalam hal dalil-dalil syari’ah, M. Hashim Kamali membagi kedalam dua dalil yang bersifat naqli (Adillah Naqliyyah) dan dalil-dalil ‘aqli (Adillah Aqliyyah). Dia membedakan karena alasan bahwa dalil Naqli adalah dalil yang berdiri sendiri tanpa adanya campur tangan dalil-dalil lain dan tidak adanya campur tangn pihak lain sebagaimana Al-Quran, Al-Sunnah, Ijma’ dan dia menambahkan dengan ketentuan sahabat dan hukum-hukum yang diwahyukan sebelum datangnya Islam (shar’u man qoblana) sebaliknya dalil-dalil aqli ditemukan dalam nalar dan perlu dijustifikasikan secara rasional, diantaranya adalah Qiyas, Istihsan, Istislah, Istishab.
BAB II : Sumber Syariah yang Pertama : Al-Quran
Dalam bab ini, M.Hashim Kamali memasukkan Al-Quran sebagai wahyu yang tampak (wahy zahir) dan wahyu internalnya (wahy batin) adalah Al-Sunnah. Al-Quran adalah sumber dari segala sumber yang berlaku dimuka bumi yang seluruh nash nya adalah mutawatir yakni otentisitasnya dijamin dengan periwayatan yang diterima secara universal.
M. Hashim Kamali berpendapat bahwa alquran mempunyai karakteristik legislasi sehingga kemudian dia memasukkan ta’lil (proses rasionalisasi) diantara ciri karakteristik Al-Quran. karena dia berpendapat bahwa Al-Quran secara ekspresif menyebutkan terhadap tujuan, alasan, sasaran, manfaat, ganjaran dan keuntungan dari petunjuk-petunjuknya. hal inilah yang akan memberikan semacam lampu merah kepada para mujtahid untuk mengkaji Al-Quran lebih dalam. Dari karakteristik itu M. Hashim Kamali membaginya yang pertama, Qot’i dan zanni yang didalamnya mencangkup amm, khos, mutlaq, muqayyad. Dan yang kedua, secara prinsipil dari karakteristik Al-Quran berbentuk prinsip umum sehingga dia menggungkapkan tentang ijmal wa al-tafsil. Yang ketiga, dia menyebutkan adanya lima macam nilai perbuatan (Al-Ahkam Al-Khamsah) yang didalamnya mencangkup wajib (Fard), sunah (Mandub), kebolehan (Ibahah), haram (Karohah) dan kemakruhan (Karohah). Yang keempat dari karaktristik legislasi Al-Quran adalah Ta’lil atau proses rasionalisasi dalam Al-Quran yaitu pencarian hikmah dari pensyariatan sesuatu hukum dalam Al-Quran / tujuan pensyariatannya. Hal ini senada dengan pendapat jumhur ulama’ yang mengatakan bahwa Ahkam Syariah itu merefleksikan tujuan-tujuan tertentu. Dan yang kelima adalah kemukjizatan (I’jaz) Al-Quran yang tergambar kedalam keistimewaan bahasa alquran, penceritaanya terhadap peristiwa-petistiwa yang terjadi berabad-abad lampau dan ketepatan ceritanya, ketepatan prediksinya terhadap peristiwa yang belum pernah terjadi, kebenaran ilmiyahnya tentang penciptaan manusia, dan pembaharuan-pembaharuan aspek humanisme, hukum, kulturalnya yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah. Ciri karakteristik legislasi Al-Quran yang ke-enam adalah sebab-sebab turunnya Al-Quran (Asbab Al-Nuzul)
Bab III Sunnah
Dalam hal ini M. Hashim Kamali membedakan tentang sunnah dan hadis, Hadis merupakan riwayat tentang tingkah laku Nabi sedangkan Sunnah adalah contoh atau hukum yang diambil atau dideduksi dari Al-Quran. Ada dua istilah yang biasa dipakai untuk menyebut hadist yaitu khabar dan asar. Derajat sunnah sama dengan Al-Quran namun Al-Quran lebih diprioritaskan daripada sunnah dalam rujukan hukum.
BAB IV Kaidah-Kaidah Interpretasi I (Deduksi Hukum dari Sumber-Sumbernya)
Pertama adalah ta’wil yaitu penafsiran yang keluar dari makna harfiyah kata-kata dan ungkapan dan menafsirkanya kedalam sebuah makna tersembunyi yang sering kali didasarkan kepada penalaran spekukulatif dan ijtihad.
M. Hashim Kamali mengklasifikasi kedalam klasifikasi I tentang kata-kata yang jelas dan yang tidak jelas yang mencangkup zahir, nass,mufassar, muhkam, yang tersembunyi (khofi), musykil, mujmal, mutasyabih. dalam klasifikasi II tentang amm dan khass. Klasifikasi III tentang mutlaq dan muqoyyad. Klasifikasi IV tentang Haqiqi dan Majazi. dan musytarok yaitu homonim / kata yang mempunyai banyak makna.
BAB V Kaidah-Kaidah Interpretasi II Al-Dalalat (Implikasi-Implikasi Tekstual)
Dalam hal ini Para Fuqoha Hanafi membagi empat tingkatan makna dalam suatu urutan, makna eksplisit (Ibarah Al-Nas), makna yang tersirat (Isyarah Al-Nas), makna yang tersimpul (Dalalah Al-Nas), makna yang dikehendaki (Iqtida Al-Nas), namun ditambah satu corak lagi yaitu makna yang berlawanan (Mafhum Mukholafah). Berbeda dengan klasifikasi dalalah menurut Hanafi, Syafi’i membagi dalalah menjadi dalalah (makna yang tertulis) dan dalalah mafhum (makna yang terpahami) yang terbagi menjadi mafhum mukholafah (makna yang berlawanan) dan mafhum muwafaqoh (makna yang sejalan). Ulama’ syafii membagi mafhum mukholafah menjadi empat yaitu mafhum al-sifah (implikasi sifat), mafhum al syarat (implikasi syarat), mafhum al ghayah (implikasi lingkup nas), mafhum al adad (implikasi jumlah tertentu)
BAB VI Perintah dan Larangan (Amar dan Nahy)
Perintah (amar) adalah permintaan lisan untuk melakukan sesuatu yang keluar dari seseorang yang lebih tinggi kedudukanya kepada yang lebih rendah. yang mempunyai makna wajib, sunah atau mubah. Perintah juga bisa bermakna anjuran. Sedangkan larangan (nahy) adalah ungkapan yang meminta agar suatu perbuatan dijauhi dan dikeluarkan oleh orang yang kedudukanya lebih tinggi kepada orang yang lebih rendah kedudukanya. larangan juga membawa beberapa variasi makna diantaranya adalah haram, karohah / ketercelaan, tuntutan / irsyad, kesopanan / ta’dib, permohonan / do’a
BAB VII Penghapusan (Naskh)
Adalah penghapusan atau penggantian suatu ketentuan syari’ah oleh ketentuan lain dengan syarat bahwa yang disebut terakhir muncul belakangan dan ketentuan itu ditetapkan secara terpisah. Imam Syafi’i lebih mengartikan naskh bukanlah pembatalan namun penghentian atau terminasi suatu ketentuan oleh ketentuan lain. Adapun jenis-jenis naskh kadang muncul secara eksplisit (sarih) dan adakalanya secara implicit (dimni)
BAB VIII Konsensus Pendapat (Ijma’)
Secara bahasa ijma’ berarti masdar dari ajma’a yang berarti memutuskan dan menyepakati. Sehingga Ijma’ dapat didefinisikan sebagai kesepakatan bulat mujtahid muslim dari suatu periode setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW tentang suatu masalah. Adapun rukun ijma’ adalah : adanya sejumlah mujtahid saat masalah muncul. Kebulatan suara. Kesepakatan harus berdasar argument. Ijma’ berdasar kesepakatan seluruh mujtahid yang hadir. Dan Jenis ijma’ dilihat dari cara terjadinya yaitu ijma’ eksplisit (Al Ijma’ Al Sharih) dan ijma’ diam-diam (Al Ijma’ Al Sukuti)
BAB IX Deduksi Analogis (Qiyas)
Adalah membandingkan antara dua hal yang satu digunakan untuk mengukur yang lain. Adapun syarat qiyas adalah kasus asal/ asl, kasus baru/ far’. Kausa/ illat. Ketentuan hukum kasus asal yang diperluas kepada kasus baru. Dari sudut pandang kuat dan lemahnya qiyas, Imam Syafi’i membagi menjadi tiga yaitu qiyas al awla / analogi yang lebih kuat. Qiyas al musawa / analogi yang sebanding. Qiyas al adna / qiyas yang lebih rendah
Demikian penjelasan secara global bab per bab menurut sistematik buku karangan M. Hashim Kamali yang secara sekilas telah kita singgung tentang Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam. Wallahu’alam

Senin, 04 Mei 2009

Keputusan Tata Usaha Negara

Keputusan Tata usaha Negara (Beschikking)

A. Latar Belakang

Keputusan dan ketetapan merupakan fenomena kenegaraan dan pemerintahan. Hampir semua organ pemerintahan berwenang untuk mengeluarkan ketetapan atau keputusan. Dalam praktik kita mengenal ketetapan atau keputusan yang di keluarkan oleh organ-organ kenegaraan seperti ketetapan atau keputusn MPR, keputusan Ketua DPR, keputusan presiden atau kepala Negara, keputusan hakim (rechtterlijke beschikking), dan sebagainya. Meskipun demikian, ketetapan atau keputusan yang dimaksud dalam tulisan ini hanyalah ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah selaku administrasi Negara(wilayah eksekutif). Ketetapan oleh organ-organ kenegaraan tidak termasuk dalam pengertian ketetapan(beschikking) berdasarkan hukum administrasi.

Pengertian ketetapan berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN, yaitu: suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang beraku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Pengertian ketetapan berdasarkan Pasal 2 UU Administrasi Belanda (AwB) dan menurut Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN jo UU No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN yaitu sebagai berikut;

Pernyataan kehendak tertulis secara sepihak dari organ pemerintahan pusat, pemerintah daerah, yang diberikan berdasarkan kewajiban atau kewenangan dari hukum tata Negara atau hukum administrasi, yang dimaksudkan untuk penentuan, pengapusan, atau pengakhiran hubungan hukukm yang ada , atau menciptakan hubungan hukum baru, yang memuat penolakan sehingga terjadi penetapan, perubahan, penghapusan, atau penciptaan.

Berdasarkan pengertian ketetapan di atas, ketetapan hanya bisa di terbitkan oleh organ pemerintah berdasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang(asas legalitas). Tanpa dasar kewenangan tersebut, pemerintah atau tata usaha Negara tidak dapat membuat dan menerbitkan ketetapan atau ketetapan itu menjadi tidak sah. Organ pemerintah dapat memperoleh kewenangan untuk mebuat ketetapan tersebut melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat.

Pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) / ketetapan tata usaha Negara(KTUN) harus memperhatikan beberapa persyaratan agar keputusan tersebut menjadi sah menurut hukum(rechtgeldig) dan memiliki kekuatan hukum untuk dilaksanakan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi tersebut ialah syarat materil dan syarat formil. Ketetapan yang telah memenuhi syarat materil dan syarat formil, maka ketetapan itu telah sah menurut hukum dan dapat diterima sebagai suatu bagian dari tertib hukum.

Ketetapan yang sah dan sudah dinyatakan berlaku, juga akan meahirkan prinsip praduga rechtmatig bahwa, setiap ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah atau administrasi Negara dianggap sah menurut hukum. Asas praduga rechmatig ini membawa konsekuensi bahwa setiap ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk dicabut kembali, kecuali setelah ada pembatalan(vernietiging) dari pengadilan. Disamping itu dalam asas-asas umum pemerintahan yang layak(AAUPL) mengenai asas kepastian hukum juga berkehendak sama dengan prinsip praduga rechtmatig, bahwa dalam banyak keadaan, asas kepastian hukum menghalangi badan pemerintahan untuk menarik kembali suatu keputusan atau mengubahnya untuk kerugian yang berkepentingan. Dengan kata lain, asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan pemerintah, meskipun keputusan itu salah. Jadi demi kepastian hukum, setiap keputusan yang telah dikeluarkan pemerintah tidak untuk dicabut kembali sampai dibuktikan sebaliknya dalam proses pengadilan.

Meskipun diasumsikan bahwa setiap ketetapan yang telah dikeluarkan dianggap sah menurut hukum, didalam praktiknya hampir semua surat ketetapan memiliki klausula pengaman yang pada umumnya berbunyi: apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan atau kekurangan maka surat keputusan ini dapat ditinjau kembali,. Rumusan klausula seperti ini disatu sisi bertentangan dengan asas kepastian hukum dan disisi lain, bertentangan dengan prinsip praduga rechmatig. Dengan kata lain klausula pengaman itu merupakan suatu hal yang keliru sebab dapat menggoyahkan sendi-sendi kepastian hukum.

  1. Definisi Keputusan dan Ketetapan Tata Usaha Negara

Keputusan Tata Usaha Negara merupakan suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 3 UU No.5 Tahun 1986).[1]

Dari uraian definisi di atas, yakni pada rumusan pasal 1 angka 3 mengenai keputusan tata usaha Negara mengandung unsur-unsur atau elemen-elemen utama sebagai berikut[2]:

1. Penetapan Tertulis

2. Dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata Usaha Negara

3. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan

4. Bersifat konkret, individual, dan final

5. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Pengertian ketetapan menurut R. Soegijatno Tjakranegara.SH., ketetapan ialah tindakan hukum yang sepihak dalam bidang pemerintahan dilakukan oleh alat perlengkapan negara berdasarkan kewenangan khusus.

Menurut Van Vollen Hoven dan Van der pot mengatakan bahwa ketetapan adalah suatu perbuatan hukum yangbersifat sebelah pihak dalam lapangan pemerintah dilakukan olh suatu badan pemerintah berdasarkan kekuasaan yang istimewa.

  1. Macam-macam Keputusan Tata Usaha Negara

Menurut Van Der Wel menyatakan bahwa keputusan tata usaha Negara terdiri dari[3]:

    1. De Rechtsvastellende Beschikkingen
    2. De Constitutieve Beschikkingen, yang terdiri atas:

- Belastande Beschikkingen (Keputusan yang memberi beban)

- Begunstigende Beschikkingen (Keputusan yang menguntungkan)

- Statusverleningen (Penetapan status)

3. De Afwijzende Beschikkingen (Keputusan Penolakan)

Adapun E.Utrecht menyatakan bahwa ada beberapa macam-macam keputusan tata usaha Negara, diantaranya[4]:

1. Ketetapan Positif dan Ketetapan Negatif

Ketetapan Positif merupakan ketetapan yang menimbulkan hak/ dan kewajiban bagi yang dikenai ketetapan.

Sedangkan Ketetapan Negatif merupakan ketetapan yang tidak menimbulkan perubahan dalam keadaan hukum yng telah ada. Adapun ketetapan negatif ini dapat berbentuk:

Ø Pernyataan tidak berkuasa (Onbevoegd-Verklaring)

Ø Pernyataan tidak diterima (Nietontvankelijk Verklaring)

Ø Atau suatu penolakan (Afwijzing)

  1. Ketetapan Deklaratoir atau Ketetapan Konstitutif

Ketetapan Deklaratoir merupakan ketetapan yang hanya menyatakan bahwa hukumnya demikian (Rechtsvastellende Beschikking)

Sedangkan ketetapan konstitutif adalah ketetapan dalam membuat hukum (Rechtsheppend)

  1. Ketetapan Kilat (Eenmalig) dan Ketetapan yang Tetap atau Permanen (Blijvend)

Ketetapan Eenmalig adalah ketetapan yang hanya berlaku sekali atau ketetapan sepintas lalu atau ketetapan yang bersifat kilat (Vluctige Beschikking)

Sedangkan Ketetapan Permanen adalah ketetapan yang memiliki masa berlaku yang lama.[5]

Menurut WF. Prins, ada 4 macam ketetapan kilat[6]:

    • Ketetapan yang bermaksud mengubah redaksi (teks) ketetapan lama
    • Suatu ketetapan negatif
    • Penarikan atau pembatalan suatu ketetapan
    • Suatu pernyataan pelaksanaan (Uitvoerbaarverklaring)
  1. Ketetapan yang Menguntungkan dan Ketetapan yang Memberi Beban

Ketetapan bersifat menguntungkan artinya ketetapan itu memberi hak-hak atau memberikan kemungkinan untuk memperoleh sesuatu yang tanpa adanya ketetapan itu tidak akan ada atau bilamana ketetapan itu memberikan keringanan beban yang ada atau mungkin ada.

Sedangkan ketetapan yang memberikan beban adalah ketetapan yang meletakkan kewajiban yang sebelumnya tidak ada atau ketetapan mengenai penolakan terhadap permohonan untuk memperoleh keringanan.[7]

  1. Ketetapan yang Bebas dan Ketetapan yang Terikat

Ketetapan yang bersifat bebas adalah ketetapan yang didasarkan pada kebebasan bertindak yang dimiliki oleh pejabat tata usaha Negara.

Sedangkan Ketetapan yang terikat adalah Ketetapan itu hanya melaksanakan ketentuan yang sudah ada tanpa adanya ruang kebebasan bagi pejabat yang bersangkutan.[8]

  1. Ketetapan Perorangan dan Ketetapan Kebendaan

Ketetapan Perorangan adalah ketetapn yang diterbitkan berdasarkan kualitas pribadi orang tertentu

Sedangkan ketetapan kebendaan adalah keputusan yang diterbitkan atas dasar kualitas kebendaan.[9]

  1. Syarat-syarat Pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara

Adapun syarat-syarat dalam pembuatan keputusan tata usaha Negara agar menjadi sah menurut hukum (Rechtsmatig) ini mencakup syarat materiil dan syarat formiil[10]:

    1. Syarat-syarat Materiil

§ Organ pemerintahan yang membuat ketetapan harus berwenang

§ Karena ketetapan suatu pernyataan kehendak (Wilsverklaring), maka ketetapan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan yuridis (Geen Jurisdische Gebreken In De Wilsvorming)

§ Ketetapan harus berdasarkan suatu keadaan (situasi) tertentu

§ Ketetapan harus dilaksanakan dan tanpa melanggar peraturan-peraturan lain, serta isi dan tujuan ketetapan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya.

    1. Syarat-syarat Formil

§ Syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan persiapan dibuatnya ketetapan dan berhubung dengan cara yang dibuatnya ketetapan harus dipenuhi

§ Ketetapan harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yng menjadi dasar dikeluarkannya ketetapan itu

§ Syarat-syarat berhubung dengan pelaksanaan ketetapan itu harus dipenuhi

§ Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya ketetapan itu harus diperhatikan.

  1. Kekuatan Hukum Keputusan Tata Usaha Negara

Adapun kekuatan hukum dari Keputusan Tata Usaha Negara ini ada 2 macam[11]:

    1. Kekuatan hukum formil (Formeel Rechtskracht)

Yakni merupakan ketetapan yang mempunyai pengaruh yang dapat diadakan oleh karena adanya ketetapan itu. Maksudnya, ketetapn tersebut tidak dapat lagi dibantah oleh suatu alat hukum (Rechtsmiddel).

Adapun ketetapan memiliki hukum formil dibagi dalam 2 hal:

Pertama, ketetapan yag telah mendapat persetujuan untuk berlaku dari alat Negara yang lebih tinggi yang berhak memberikan persetujuan tersebut.

Kedua, suatu ketetapan dimana permohonan untuk banding terhadap ketetapan itu ditolak atau karena tidak menggunakan hak bandingnya dalam jangka waktu yang ditentukan oleh Undang-undang.[12]

    1. Kekuatan hukum materiil (Materiele Rechtskracht)

Yakni merupakan ketetapan yang mempunyai pengaruh yang dapat diadakan oleh karena isi ketetapan tersebut. Maksudnya, ketetapan tersebut tidak lagi dapat ditiadakan oleh alat Negara yang membuatnya.

  1. Akibat jika Ketetapan Tidak Sah
  • Kekuatan Hukum Formil

Daya berlaku ketetapan yang bersumber dari adanya ketetapan yang bersangkutan. Ketetapan yang bersangkutan tidak dapat dibantah lagi secara yuridis.

  • Kekuatan Hukum Materil

Daya berlaku yang bersummber dari isi ketetapan yang bersangkutan. Isi ketetapan : Yang mengutungkan, yang memberatkan, yang bersangkutan, konsesi, lisensi, dispensi dan sebagainya yaitu berrdasarkan atas.

Sehubungan dengan kekutan hukum teori berlakunya hukum ( Geldingstheorien ). dari Hans Kelsen.

Ø Ketetapan hukum yuridis ( Juridische gelding )= peraturan hukum yang dibuat oleh instansi yang berwenang dan menurut prosedur hukum.

Ø Kekuatan hukum Sosiologi ( Sociologishe gelding ) = peraturan hukum yang benar-benar dianut oleh masyarakat.

Ø Kekuatan hukum filosof (philosofische gelding) = peraturan hukum yang secara filosofis diterima.

Kanenburg Vegting mengemukakan empat hal, jika seseorang yang bersangkutan dapat membantah dengan jalan:

Ø Memohon banding (ada hak banding selama jangka waktu tertentu)

Ø Mohon dibatalkan oleh instansi yang berwenang.

Ø Diajukan kepada hakim biasa/ pengadilan administrasi.

Ø Dibiarkan saja tetapi jika diajukan hakim maka dibatalkan.